Berita Website – Berat badan lahir rendah, pendarahan pasca melahirkan sampai kematian, merupakan persoalan seputar kehamilan yang masih menjadi perhatian bersama saat ini, khususnya bagi bidan dan tenaga medis lainnya. Pasalnya, risiko ini terus meningkat seiring gaya hidup remaja yang abai terhadap asupan gizi.
Mira Karmila, Wakil Ketua 2 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Wilayah Jawa Barat, menjelaskan risiko kesehatan pada calon ibu dapat dicegah melalui edukasi dan penanganan komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak. Edukasi tidak hanya harus diberikan untuk calon ibu, namun juga untuk usia yang lebih muda, yaitu remaja dan dewasa usia produktif.
“Tentu untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta mengatasi gizi buruk yang kami segenap Pengurus dan anggota IBI siap membantu.” tegas Mira.
Lebih lanjut, Mira mengingatkan pola makan yang tidak terkontrol sejak remaja, termasuk kebiasaan konsumsi makanan minuman tinggi kandungan gula dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti anemia, diabetes dan obesitas. Jika berlangsung hingga dewasa, yang akan terjadi adalah kekurangan energi. Hal ini pun akan berpengaruh pada bayi yang sedang dalam kandungan ibu nantinya.
Tak hanya wanita, pria pun harus memiliki gaya hidup yang baik agar tidak mudah terkena obesitas dan diabetes. Dimana kedua penyakit ini terjadi salah satunya akibat mengkonsumsi minuman dan makanan yang mengandung gula berlebih.
“Jadi sekarang mindset atau pemikiran kita diubah mengenai gula, atau makanan yang kandungan gulanya cukup tinggi, karena itu menjadi masalah untuk persiapan nanti kedepannya menjadi orang tua, terutama ibu yang akan mengandung dan melahirkan.” ujarnya.
Lebih lanjut Mira memaparkan jika asupan gizi pada remaja yang biasa dikonsumsi seperti coklat, es krim, martabak dengan topping coklat, kental manis, maupun sirup, itu dapat berdampak di masa depan remaja.
Senada dengan Mira, Pakar Kebijakan Publik, Sofie Wasiat mengungkapkan untuk menjawab tantangan-tantangan konsumsi gula berlebih, pemerintah harus melakukan edukasi besar-besaran dan terus-menerus terhadap masyarakat. Persoalan kental manis misalnya, meskipun BPOM sudah mengeluarkan peraturan yang menjelaskan bahwa kental manis bukan jenis susu yang dapat diseduh sebagai minuman susu dan diberikan kepada anak. Kenyataannya, lebih dari 3 tahun sejak di peraturan tersebut diterbitkan, masih ditemukan kental manis dijadikan minuman seusu untuk anak.
“Sudah puluhan tahun lamanya, masyarakat Indonesia secara menyeluruh memiliki persepsi bahwa kental manis merupakan substitusi susu tidak bisa hanya diatasi dengan edukasi yang dilakukan dengan waktu singkat dan sekali-sekali saja,” jelasnya.
Bagi Sofie, edukasi tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama lintas sektoral, Dinas atau Pemerintah Daerah, tenaga kesehatan, LSM, organisasi masyarakat, dan lain sebagainya. Edukasi kental manis harus juga diintegrasikan dengan edukasi program prioritas stunting, agar mendapatkan dukungan dari banyak pihak dan dapat dilakukan secara masif di setiap daerah oleh berbagai institusi dan lembaga.
“Harapannya adalah masyarakat dapat meningkatkan literasi agar rentan terhadap strategi pemasaran yang menyesatkan persepsi dalam pemenuhan kebutuhan gizi.”pungkasnya.
Sofie pun berharap agar masyarakat juga diharapkan turut aktif dalam melakukan pengawasan terhadap lingkungan sekitar agar kemudian dapat membuat laporan ke pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Untuk itu, kerja sama dengan masyarakat juga menjadi penting.