Berita Website- Nabi Musa AS merupakan utusan Allah SWT yang membawa ajaran tauhid kepada masyarakat Mesir. Jika kita teliti saat membaca Alquran, kita akan mendapat banyak sekali kisah Nabi Musa AS. yang diceritakan secara berulang di dalam Alquran.

Antara lain kisah pertarungan beliau dengan Firaun yang akhirnya berhasil beliau menangkan, sehingga banyak dari pengikut bahkan penyihir utusan Firaun mengimani ajaran tauhid yang  beliau bawa.

Demikian juga kisah beliau ketika membelah laut merah dengan tongkatnya, saat tengah dikejar Firaun dan tentaranya.

Selain dua cerita tersebut, ada satu mukjizat Nabi Musa AS. yang juga beberapa kali disebut di dalam Alquran.

Yaitu mukjizat ini lantas menjadi titik perdebatan kelompok-kelompok Islam dalam memaknai kebolehan kita melihat Allah SWT. Yakni, mukjizat Nabi Musa AS. berbicara langsung dengan Allah SWT. tanpa perantara, yang termaktub dalam surat al-A’raf ayat 143.

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”

Pasca berhasil kabur dari tentara Firaun (saat Firaun ditenggelamkan Allah SWT.) Nabi Musa AS. lantas bersama pengikutnya berjalan ke arah Selatan Mesir. Ketika beliau telah menemukan tempat yang aman bagi pengikutnya, beliau kemudian berpamitan untuk pergi bermunajat ke Gunung Sinai.

Dengan harapan Allah SWT. akan memberi petunjuk kepada beliau beserta umatnya setelah melewati berbagai rintangan. Setelah bermunajat selama empat puluh hari, akhirnya Allah SWT memberikan isyarat-isyarat kepada Nabi Musa AS tentang apa yang harus beliau sampaikan kepada pengikutnya.

Pada saat itu juga, terjadilah percakapan antara Allah SWT. dan Nabi Musa AS. secara langsung sebagaimana yang dikisahkan dalam ayat Alquran di atas.

Menariknya, isi percakapan Nabi Musa AS. dan Allah SWT. yang termaktub dalam ayat tersebut lantas menjadi landasan argumentasi muslim Ahlusunnah wal Jamaah atas kebolehan melihat Allah SWT, di saat banyak kelompok Islam selain Ahlusunnah wal Jamaah yang justru mengamini sebaliknya.

Dari ayat di atas, muslim Ahlusunnah mendapatkan empat dalil penting yang menunjukkan kebolehan kita melihat Allah SWT.

Pertama, dalam ayat tersebut dikisahkan Nabi Musa AS. meminta Allah SWT untuk menampakkan diri sehingga beliau bisa melihat-Nya; قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَ “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa AS. secara sadar meyakini bahwa Allah SWT. bisa dilihat. Tentu saja dengan menjauhkan (tanzih) Allah SWT. dari hal-hal yang menyerupai makhluk (Allah SWT. tidak bertempat, tidak menempati arah, dan untuk melihat-Nya tidak membutuhkan cahaya). Bagaimana mungkin sosok utusan Allah SWT. yang telah mendapat banyak mukjizat dari-Nya juga telah bercakap langsung dengan-Nya, meminta kepada Allah SWT.

Sesuatu yang mustahil adanya? Jika harus memilih di antara dua pendapat yang membolehkan dan tidak membolehkan, tentu kita menuruti hal yang diyakini oleh  Nabi Musa AS.

Kemudian, saat diminta demikian oleh Nabi Musa AS, Allah SWT. menjawab لَنْ تَرٰىنِيْ  “Kamu tidak akan melihat-Ku”. Dalam kalimat tersebut, Allah SWT. menegaskan ketidakmampuan atau ketidaksanggupan Nabi Musa AS. untuk melihat-Nya.

Bukan menyatakan bahwa dzat-Nya mustahil untuk dilihat. Jika benar Allah SWT. mustahil untuk dilihat maka Allah SWT. akan menjawab permintaan Nabi Musa AS.  dengan  لَنْ أُرَى  “aku tidak bisa dilihat”, bukan malah menisbatkan ketidakmampuan pada Nabi Musa AS. dengan firman لَنْ تَرٰىنِيْ  .

Selanjutnya, dalam ayat tersebut Allah SWT. menggantungkan keberadaan-Nya kepada keadaan gunung, فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ  “Jika ia (gunung) tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Keadaan gunung tetap sebagaimana sedia kala adalah hal yang mungkin terjadi, bukan sesuatu yang mustahil adanya.

Karena itu, menjadi hal yang mungkin juga Nabi Musa AS. bisa melihat Allah SWT. Sesuatu yang mungkin disandarkan (memiliki ta’alluq) pada sesuatu yang mungkin juga. Pun sesuatu yang mustahil disandarkan pada sesuatu yang mustahil. Jika ada yang membantah hubungan keduanya (keadaan gunung dengan kemungkinan melihat Allah SWT.) maka hal tersebut sudah terjawab sendiri lewat kalimat setelahnya dalam ayat di atas; فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا.

Berikutnya, Allah SWT. tidak menyangsikan pertanyaan Nabi Musa AS, juga tidak menghukum beliau. Jika permintaan beliau adalah hal yang mustahil dan keluar dari hikmah ilahi, maka sudah sewajarnya Allah SWT. menghukum beliau sebagaimana Nabi Adam AS. dikeluarkan dari surga sebab kesalahannya memakan buah khuldi.

Keempat poin inilah yang menjadi landasan muslim Ahlusunnah dalam hal kebolehan kita melihat Allah SWT. Yakni bukan hal yang mustahil nanti saat di surga kita akan bertemu dengan-Allah SWT. Tentu saja dalam keadaan yang tidak serupa dengan saat kita bertemu dengan makhluk di bumi.

Seringkali selama ini kita hanya mencukupkan diri dengan membaca Alquran, dengan tidak memahami kandungan ayat-ayatnya. Yang  mana jika sedikit saja kita mau membaca kandungan ayat-ayat Alquran kita akan menemukan segudang hikmah, tak terkecuali pada ayat-ayat yang mengisahkan kisah Nabi terdahulu.

Secara kasat mata, ayat-ayat qashash (cerita/sejarah) mungkin terkesan minim kandungan sebab hanya mengulas kisah terdahulu. Namun, kenyataannya tidak demikian. Bagaimana kisah percakapan antara Nabi Musa AS. dan Allah SWT. di atas, semakin memahaminya kita akan mendapatkan ketenangan-ketenangan batin yang lebih dalam meyakini keberadaan Allah SWT.

Gunung Sinai Sebenarnya Ada di Sumatera Utara

Dalam AlQuran Qs. Al-Mu’minun 23:20 kata ‘thursina’ ditulis dengan kata ‘sainaa-a’ (sin-ya-nun-alif-hamzah).

Dan di dalam Qs. At-Tiin 69:2 kata ‘sinai’ ditulis sebagai ‘siiniin’ (sin-ya-nun-ya-nun). bandingkan dengan Qs Al-Mu’minin 23:20 yang menyebut kata ‘sinai’ dengan kata ‘saina’ (sin-ya-nun).

Artinya jika kita merujuk kepada qs. at-tiin 69:2 yg menyebutkan kata ’siiniin’ maka maknanya adalah ”dua sinai”. ini sama halnya dengan kata ’saba’ yang ditulis oleh Al-quran dengan kata ‘saba’iin’ yang bermakna ‘dua saba’.

Jika data pendukung dari kata ’saba-in’ yang bermakna ’dua saba’ adalah hadits rasulullah saw yang menyebutkan “saba di Yaman dan saba di syam” maka data pendukung dari kata ‘siiniin’ yg bermakna ’dua sinai’ adalah al-kitab perjanjian lama (al-ahd al-qadm) kitab keluaran (al-khuruj) 16:1 berikut:

“Setelah mereka berangkat dari elim, tibalah segenap jemaah israel di padang gurun sin (ciyn) yang terletak di antara elim dan gunung sinai (ciynay) pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir.”

Dalam al-kitab perjanjian lama, kitab keluaran 16:1 di atas, kata ‘sin’ disebut dengan kata ’ciyn’ dan kata ‘sinai’ disebut dengan kata ‘ciynay’.

Dan dalam aspek gematria adalah:untuk kata ‘sin’: ditulis: ciyn. dibaca: seen. dieja: samekh-yod-nun. nilai gematria: 60+10+50 = 120. strong’s number: 5512. Meaning / arti: “thorn” (tanduk).

Bandingkan kata ’ciyn’ (dibaca: sin) di atas dengan kata ’sinai’ dalam qs. al-mu’minun 23:20 yg ditulis dengan kata ‘saina’ (sin-ya-nun) yg juga sama2 memiliki nilai gematria ’120’.

Kemudian untuk kata sinai: ditulis: ciynay. dibaca: seenah-ee. dieja: samekh-yod-nun. nilai gematria: 60+10+50+10 = 130. strong’s number: 5514. meaning / arti: “thorny” (bertanduk).

Kesimpulan

Menurut Al-kitab perjanjian lama kitab keluaran 16:1, disebutkan ada dua sinai, yang satu adalah padang sin (cyn) dan yang satu adalah gunung sinai (ciynay), dimana padang sin terletak antara elam dan gunung sinai.

Alkitab perjanjian lama (al-ahd al-qadim) kitab keluaran (al-khuruj) menyebutkan bahwa nabi musa bertemu dengan tuhan di ‘gunung sinai’ namun Alquran dalam Qs. Thoha 20:12 Dan Qs. An-Naazi’at 79:16 menyebutkan bahwa Nabi Musa bertemu dengan tuhan di ‘ardhil muqaddas thuwa’ atau ’lembah suci thuwa’. Kata ‘thuwa’ dalam al-quran ditulis dengan huruf ‘tha’ dan ‘waw’ dan kata ’thuwa’ ini sama artinya dengan kata ’tow’ dalam bahasa ibrani yang ditulis dengan huruf ‘tet’ dan ‘vav’.

Bahasa arab: thuwa = tha-waw (dibaca: thuwa / tuwa). Bahasa ibrani tow = tet-vav (dibaca: tobe / toba). Thuwa (bahasa arab) atau toba (bahasa ibrani) merujuk ke nama tempat dan dikaitkan dengan kata ‘thur’ yg berarti ‘gunung’ atau ‘bukit’.

Di dunia hanya ada dua tempat yang bernama ‘toba’ yakni ’toba’ di Batak, sumatera utara dan ‘toba’ di Amerika Selatan. tapi hanya ’toba’ di Batak, Sumatera Utara yang merupakan sebuah gunung dan disebut sebagai ’mount toba’.

Lalu apakah benar kata ‘toba’ merupakan pengucapan kata ‘thuwa’ (bahasa arab) dalam bahasa batak?

Dalam tradisi batak, oppu mulajadi nabolon dalam agama parmalim dianggap sebagai ‘debata’ yang berarti “tuhan” atau “dewa”. nah kata ‘debata’ (bahasa batak) ini berasal dari kata ibrani ’deva’ (dalet-vav) yang dalam bahasa arab sama dengan kata ‘dawa’ atau ‘dewa’ (dal-waw). perhatikan bahwa huruf ‘vav’ bahasa ibrani atau huruf ‘waw’ dalam bahasa arab diucapkan sebagai huruf ‘b’ dalam bahasa batak. sehingga ini menjadi sebuah fakta pendukung bahwa kata ‘toba’ memang merupakan pengucapan kata ‘thuwa (bahasa arab) atau kata ‘tow’ – ‘tet-vav’ (bahasa ibrani) dalam bahasa batak.

Masih menurut Al-kitab perjanjian lama (al-ahd al-qadim) kitab keluaran (al-khuruj) 16:1 bahwa ‘padang gurun sin’ (ciyn) terletak di antara ‘elim’ dan ‘gunung sinai’ (ciynai).

Dalam penjelasan sebelumnya, Sudha saya jelaskan bahwa ‘gunung sinai’ dalam al-kitab disebut sebagai ‘lembah suci thuwa’ dalam al-quran, sehingga kita dapat mengatakan bahwa ’sinai’ = ‘thuwa’. dan ‘thuwa’ dalam bahasa ibrani dibaca ’tob’ dan dalam bahasa batak dibaca ’toba’ sehingga ’gunung sinai’ = ‘gunung toba’.

Lalu apakah ada ’padang gurun sin’ di dekat lokasi ‘gunung toba? Jawab: ada. Dalam Al-kitab perjanjian lama, ‘padang gurun sin’ ditulis dalam bahasa ibrani sebagai ‘ciyn’ yang berarti “thorn” atau “tanduk”.

Dan ternyata dekat lokasi ’gunung toba’ terdapat kawasan kaldera yg bernama ‘gunung sipiso-piso’ yang artinya adalah “gunung tanduk banua”. Sehingga ‘padang gurun sin’ yg berada dekat ‘gunung sinai’ yg disebut dalam al-kitab perjanjian lama adalah ‘gunung sipiso-piso’ (gunung tanduk) yg berlokasi tidak jauh dari ‘gunung toba’.

Dan dalam al-kitab perjanjian laam (al-ahd al-qadim) 16:1 juga disebutkan bahwa tidak jauh dari lokasi ‘padang gurun sin’ (ciyn) dan ‘gunung sinai’ terdapat lokasi yang bernama ’elim’ yang dalam bahasa ibrani ditulis ’eylim’ (strong’s number 0362) yg merupakan kata turunan dari akar kata ’ayil (strong’s number 0352) yg artinya adalah:

(1) strong man, leader, chief (pemimpin, tokoh yang dituakan). (2) trees (pohon).

Kaitannya dengan arti kata yng pertama, yakni sebagai “leader” (pemimpin) atau “strong man” (orang yg dituakan), maka kata ’eliym (dibaca: elim) kita temukan pada agama asli masyarakat batak toba yakni ‘agama par-malim’ dimana kata ’par-malim’ berasal dari bahasa melayu ‘malim’ yang berarti ”orang yang berilmu” atau “tokoh agama” atau ”pemimpin umat”. dan arti kata ‘malim’ ini mirip dengan arti kata ‘elim’ dalam bahasa ibrani yg disebut dalam al-kitab.

Kaitannya dengan arti kata yang kedua yakni sebagai “trees” atau “pohon” maka di batak atau sumatera secara umum dikenal adanya pohon yang bernama ‘ulam raja’ yang di jawa disebut sebagai ’daun kenikir’ atau di sunda disebut sebagai ‘randa midang’ dan daun pohon ini biasa dijadikan lalapan yang bisa dimakan.

Dan ini disebutkan pula dalam Qs. Al-Mu’minum 23:20 sebagai berikut, “Dan pohon yang keluar dari thur saina yang menghasilkan minyak dan kuah bagi orang-orang yang memakannya”.

Aquran menyebutkan bahwa di ‘bukit saina’ atau ’gunung saina’ yang dalam al-kitab disebut dengan ‘ciyn’ (samech-yod-nun) yang juga bisa dibaca sebagai ’caina’ atau ’saina’ terdapat sebuah pohon yang dapat dimakan. dan ini sepadan dengan kata ‘ulam raja’ (bahasa sumatera) atau ’daun kenikir’ (bahasa jawa) yg bisa dijadikan makanan lalapan dan kata ’ulam’ dari ‘ulam raja’ memiliki kemiripan fonetik dengan kata ’elim’ yg disebut dalam al-kitab perjanjian lama berlokasi tidak jauh dari ’padang gurun sin’ dan ‘gunung sinai’.

Berikutnya dalam Qs. Hud 11:89 disebutkan: “(Syua’ib berkata): hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum nuh atau kaum hud atau kaum shaleh, sedangkan kaum luth dari kamu tidaklah jauh (bi ba’iid)”.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya “shahih ibn katsir”, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata bi-ba’iid dalam surat hud ayat 89 bisa bermakna ’waktu’ dan bisa pula bermakna ‘tempat’.

Dalam konteks ‘waktu’ berarti jarak waktu antara adzab allah yang ditimpakan kepada kaum nabi luth dengan kaum nabi syu’aib tidaklah terlalu jauh. sedangkan dalam konteks ‘tempat’, berarti memang lokasi negeri kaum nabi luth tidaklah terlalu jauh dari lokasi negeri madyan.

Kita tahu bahwa kaum nabi luth itu berlokasi di negeri thuuba. dan secara fonetik linguistik, kata ’thuuba’ memiliki kemiripan dengan kata ’toba’ yg dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa ’gunung toba’ adalah ‘gunung sinai’.

Dan dalam qs. hud ayat 89 disebutkan bahwa dalam konteks tempat, maka lokasi kaum nabi luth itu tidaklah jauh dengan lokasi kaum nabi syua’ib yakni di negeri madyan. dan saya pernah menjelaskan bahwa kata ‘madyan’ dari sisi linguistik adalah sama dengan kata ‘medan’. sehingga maksud dari kalimat “lokasi kaum luth yg tidak jauh dari lokasi kaum nabi syuaib” adalah “gunung toba” yang tidak jauh lokasinya dari “medan”.

Reminder tentang madyan = medan

Etnis batak karo yg merupakan penduduk medan yg konon berasal dari kerajaan aru, menyumbangkan pemikiran tentang penamaan kota ‘medan’ dan menyatakan bahwa asal nama ’medan’ berasal dari bahasa karo yaitu ”maden“ yang berarti “sembuh”. sebab hikayatnya dahulu di pinggir sungai deli dan babura banyak penderita lepra/kusta dan sembuh (dalam bahasa karo disebut maden) maka kata sembuh ‘maden’ dalam pengucapannya disesuaikan dengan bahasa melayu menjadi ‘medan’.

Kata ’maden’ sendiri merupakan transliterasi dari bahasa ibrani ’midyan’ atau bahasa arab ’madyan’ ke dalam bahasa Indonesia. Madyan dibaca: maden.

Analog: radyan dibaca: raden. jaylani dibaca: jelani. sulayman dibaca: suleman. paytra dibaca: petra. rampyas dibaca: rampes.

Berarti kita sudah punya empat data pendukung yg menjadi argumen bahwa yang dimaksud ’gunung sinai’ dalam al-kitab atau ‘lembah suci thuwa’ dalam Al-quran merujuk ke ’gunung toba’.

Data pendukung #1:

Kata ‘thuwa’ (bahasa arab) = kata ’tow’ (dibaca tob dalam bahasa ibrani = kata ’toba’ dalam bahasa batak. Analog kata ‘devata’ atau ‘dewata’ diucapkan dalam bahasa batak sebagai ‘debata’.

Data pendukung #2: Kata ’ciyn’ (dibaca sin) yg dalam bahasa ibrani artinya adalah “thorn” atau “tanduk” dan lokasinya tidak jauh dari ’gunung sinai’ atau ’gunung toba’ ternyata merujuk kepada ’gunung sipiso-piso’ yg artinya adalah ‘gunung tanduk banua’.

Data pendukung #3: Kata ‘elim’ yg dalam bahasa ibrani artinya “leader” (pemimpin) atau “strong man” (orang yang dituakan) ternyata memiliki kemiripan dengan kata ’malim’ dalam bahasa batak toba yg artinya adalah “orang yang dituakan” atau “pemimpin umat”.

Kata ‘elim’ yg dalam bahasa ibrani juga berarti “trees” atau “pohon” ternyata memiliki kemiripan dengan kata ’ulam raja’ yg merupakan nama sebuah pohon yg dalam bahasa jawa disebut ’daun kenikir’ dan merupakan pohon yg daunya dapat dijadikan makanan lalapan sebagaimana disebutkan dalam qs. al-mu’minim 23:20 bahwa di ‘gunung saina’ atau ‘bukit saina’ terdapat pohon yang mengeluarkan minyak dan kuah bagi yg memakannya.

Data pendukung #4: Dalam Qs. Hud ayat 89 disebutkan bahwa lokasi kaum nabi luth (di negeri thuba) tidak jaih tempatnya dengan lokasi kaum nabi syuaib (di negeri madyan). thuba = gunung toba. madyan = medan.

Dan ‘gunung toba’ memang tidaklah jauh lokasinya dari medan, dankeduanya sama-sama berada di sumatera utara. Dan saya masih punya data pendukung ke-5.

Data pendukung #5: Dalam sejarah disebutkan bahwa nabi syuaib diutus kepada kaum madyan karena saat itu kaum madyan menganut kepercayaan tuhan baal. Jika ’madyan’ = medan pertanyaannya adalah apakah di medan ada sisa-sisa peninggalan kepercayaan terhadap tuhan baal…?

Jawab: Di padang sidempuan terdapat peninggalan kuno bernama ’biara bahal’ yang diyakini berasal dari abad ke-12 masehi.

Secara fonetik linguistik, kata ‘bahal’ memiliki kemiripan dengan kata ’baal’. Tunggu dulu, ternyata saya masih punya data pendukung ke-6.

Data pendukung #6: Dalam al-kitab perjanjian lama (al-ahd al-qadim) kitab bilangan 12:10 disebutkan, ”Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah miryam kena kusta, putih seperti salju; ketika harun berpaling kepada miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta!”

Kemudian di kitab bilangan 12:15-16 disebutkan: ”jadi dikucilkanlah miryam ke luar tempat perkemahan tujuh hari lamanya (karena kusta) dan bangsa itu tidak berangkat sebelum miryam diterima kembali. kemudian berangkatlah mereka dari hazerot dan berkemah di padang gurun paran.”

Pertanyaannya: Dimanakah lokasi padang gurun paran tempat miryam saudara perempuan nabi musa dan harun dikucilkan karena menderita penyakit kusta?

Jawab: Ada pada kitab bilangan 10:12berikut,

“Lalu berangkatlah orang israel dari gunung sinai menurut aturan keberangkatan mereka, kemudian diamlah awan itu di padang gurun paran.”

Ternyata lokasi paran pun masih berdekatan dengan lokasi gunung sinai.

Ingat dalam penjelasan saya sebelumnya bahwa gunung sinai = gunung toba di sumatera utara.

Dan paran ditulis dalam bahasa ibrani dengan huruf: ‘peh-resh-nun’ sepadan dengan huruf ‘fa-ra-nun’ dalam bahasa arab dan dibaca ‘faran’.

Dan ‘faran’ adalah penyebutan untuk kota ‘barus’ di tapanuli utara oleh para ahli sejarah arab yang dalam bahasa arab disebut sebagai ‘faransur’.

Paran (bahasa ibrani) = faran (bahasa arab) = faransur = kota barus di tapanuli tengah.

Dan memang kota ’barus’ di tapanuli tengah juga berlokasi tidak jauh dari ’gunung toba’ yg masih sama-sama terletak di provinsi sumatera utara.

Demikian penjelasan singkat saya mengenai misteri lokasi gunung sinai dari sudut pandang etno-linguistik. Dan sekali lagi saya tegaskan bahwa ini hanyalah sebatas “hipotesis” yang saya sampaikan ke ruang terbuka publik yang saya peroleh lewat kajian berbasis “etno-linguistik” dan “ilmu gematria”.

 

Bagikan:

Berita Website

Aktual dan Faktual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *