Berita Website – Secara umum, nepotisme merupakan suatu kegiatan seseorang dalam memanfaatkan kedudukan ataupun posisinya untuk lebih memprioritaskan teman atau keluarganya di atas kepentingan umum.

Hal tersebut dilakukan atas dasar hubungan kedekatan atau hubungan keluarga saja, bukan atas dasar kompetisi.

Bahkan, beberapa ahli juga mengatakan bahwa nepotisme adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai pengaruh atau kekuatan supaya bisa mengutamakan teman dekat ataupun kerabatnya.

Seperti misalnya memberikan posisi yang penting atau tugas tertentu atas dasar kedekatan saja, bukan karena kompetensi dari orang yang dipilih.

Tahun 2001 terbit sebuah buku tentang analisis kejiwaan Soeharto yang disusun psikolog UI, berjudul Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat.

Di salah satu bab buku yang ditulis Bagus Takwin, Niniek L Karim, dan Hamdi Muluk itu disebutkan “Soeharto Sebagai Kasus Langka Dalam Kajian Psikologi Politik”.

Masa kecil yang terlihat sulit, dan kurang kasih sayang menyebabkan saat berkuasa Soeharto sangat protektif sekaligus permisif terhadap anak-anaknya. Ketika awal 1970-an putra-putri Cendana mulai terjun ke dunia bisnis, Soeharto pun membiarkan.

Saat itu, Soeharto marah dan mendeportasi wartawan Sydney Morning Herald, David Jenkins, yang menulis artikel “After Marcos, Now for the Soeharto Billions”.

Nama-nama keluarga dan kerabat Cendana ditulis satu per satu di artikel itu. Ibu Tien disebutnya “Ibu Tien Persen”.

Sementara itu, Liem Sioe Liong sebagai cukong besar, dan diulas pula sepak terjang bisnis Sigit, Bambang, Tutut, Tommy, dan adik Soeharto, Probosutedjo. Kritik dan cercaan mengenai keserakahan dan nepotisme bisnis ini kala itu juga datang dari masyarakat.

Termasuk dari sejumlah kolega Soeharto yang merupakan para purnawirawan jenderal Angkatan ‘45.

Antara lain, dari bekas Pangdam Brawijaya/Wakasad Letjen M Jasin yang mengecam pembangunan lahan peternakan milik Soeharto di Tapos, Bogor, praktek bisnis anak-anak Cendana yang dari waktu ke waktu makin menggurita, dan pertikaian fisiknya dengan Kepala Bulog saat itu, Bustanil Arifin, yang beristrikan kerabat dekat Ibu Tien.

Namun, apa bedanya anak-menantu Soeharto dengan anak-menantu Jokowi dalam bisnis dan politik?

Dalam waktu sekitar tujuh tahun jadi presiden anak-mantu Jokowi langsung menguasai bisnis dan politik. Gibran sang anak jadi Walikota Solo. Sedangkan Bobby sang menantu Walikota Medan.

Beberapa hari terakhir muncul pula wacana memproyeksikan Gibran jadi gubernur Jakarta, sedangkan Kaesang digadang-gadang untuk menempati posisi Walikota Depok.

Tak tanggung, aset bisnis kedua anak lelaki Jokowi ini langsung pula mencapai ratusan miliar. Tajir melintir, kata istilah ABG zaman sekarang.

Malnsir media online CNBC Indonesia mengungkap bisnis tersebut bergerak di sektor makanan dan minuman hingga fashion.  Di antaranya, Sang Pisang, Hompimpa Gamers, Sang Javas, Ternakopi, Madhang, Siap Mas, Mangkokku, Chili Pari, Markobar, Goola.

Kemudian ada Pasta Buntel, IColor, Mommilk, Yang Ayam, dan lainnya. Anehnya, tidak jelas benar apakah produk-produk ini laku dan disukai oleh masyarakat.

Esensinya praktek dugaan KKN dinasti Jokowi ternyata lebih ganas dan merusak dibandingkan dengan dinasti Soeharto.

Berbeda dengan anak dan menantu Jokowi, anak-anak Soeharto pasca membangun kerajaan bisnis baru memasuki lapangan politik.

Tutut dan Bambang Trihatmodjo masuk jadi pengurus pusat Golkar kurang lebih setelah duapuluh lima tahun Soeharto berkuasa.

Tutut sempat jadi menteri sosial sekitar tiga bulan, yaitu Maret 1998 hingga 21 Mei 1998, usai mendekati 32 tahun Soeharto berkuasa, sebelum akhirnya Soeharto dijatuhkan oleh kemarahan dan rasa muak rakyat yang menginginkan perubahan yang lebih baik.

Tak sedikit yang mengatakan, bahwa dinasti politik yang di dalamnya bercokol nepotisme merupakan suatu hal yang biasa.

Karena terjadi juga misalnya di Amerika Serikat (seperti berkuasanya klan Kennedy, Bush, atau Donald Trump), di India, Pakistan, dan beberapa negara lain.

Bedanya dengan di sini, dinasti politik dan nepotisme di sana umumnya lebih terkontrol karena adanya pengawasan dan penegakan rule of law, DPR-nya berfungsi, pers-nya melakukan tugas jurnalisme secara benar sebagai salah satu pilar demokrasi.

Kemudian, aparatur keamanannya bukan bagian dari mafia, lembaga-lembaga antikorupsinya tidak tebang pilih. Di samping itu secara umum masih adanya standar moral dan standar etika yang dipegang oleh para pemangku jabatan.

Di Indonesia, dinasti politik dan nepotisme berkembang subur dan memiliki akar kuat lebih karena watak aji mumpung, rakus dan serakah, serta adanya mentalitas terabas yang mengesampingkan rasa malu.

Dinasti politik dan nepotismenya juga bersumber dari mentalitas feodal yang berkelindan dengan kolonialisme yang paralel dengan penjajahan dan penindasan.

Bagikan:

Berita Website

Aktual dan Faktual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *