Berita Website – Kota Yogyakarta mengukir sejarah baru sebagai kota dengan kasus demam berdarah dengue (DBD) terendah pada angka 67 kasus. Hal ini terjadi usai kota pelajar itu menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sejak tahun 2016 lalu.
dr Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menjelaskan pada tahun 2016 lalu, kasus di Kota Yogyakarta sangat tinggi. Bahkan capai angka 1.700 kasus.
“Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta,” ujarnya dirilis di laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (24/11/2023).
Tentang Riset Nyamuk Ber-Wolbachia
Diketahui teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta. Program ini adalah hasil kolaborasi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Monash University, dan Yayasan Tahija.
Yogyakarta adalah kota yang dipilih sebagai lokasi pilot project dengan melakukan penitipan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di habitat alaminya yakni di lingkungan masyarakat.
Program ini juga mendapat dukungan dari Dinas Kesehatan dan berbagai pemangku kepentingan terkait. Meski projek resminya dimulai pada tahun 2016, riset penelitian tentang teknologi ini justru sudah dilakukan sejak tahun 2014.
Kala itu, telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia pertama kali ditempatkan di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman. Kini, 10 tahun hampir berlalu dan masyarakat Kota Yogyakarta capai sejarah baru.
Prof Adi Utarini, Peneliti Utama WMP Yogyakarta menjelaskan, teknologi ini sudah melalui berbagai tahapan termasuk analisi risiko. Analisis ini mengidentifikasi berbagai potensi dampak yang hasilnya sangat rendah atau dapat diabaikan.
“Tidak serta merta diterapkan, ada proses penting yang dilakukan sebelumnya. Semua dilakukan dengan kehati-hatian dan dikawal dengan ethical clearance,” terangnya.
Program WMP pada nyatanya sudah berakhir pada tahun 2022 lalu dengan hasil yang sangat baik. Teknologi ini mampu mengurangi 77% kasus DBD dan 86% rawat inap karena DBD.
Lana juga menyampaikan hal serupa, tren penurunan angka kasus dan rawat inap DBD berdampak pada banyak dampak baik lainnya.
Seperti kebutuhan dan intervensi fisik fogging menjadi berkurang hingga anggaran pemerintah untuk penanganan DBD menjadi lebih efisien dan dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.
WMP juga sudah memperoleh rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Dengan demikian, program ini siap diimplementasikan di kota-kota lain di Indonesia melalui kerja sama dengan Dinas Kesehatan daerah.
Dapat Apresiasi Masyarakat
Keberhasilan program ini menghasilkan apresiasi dari kalangan tokoh masyarakat di Kelurahan Cokrodiningratan, Totok Pratopo. Menurutnya sebelum ada WMP kasus DBD di kampungnya memprihatinkan hingga mengakibatkan kematian.
“Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi ini ditemukan. Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” kata Totok.
Menurut Totok, WMP memang sulit dipahami oleh masyarakat awam sehingga sejumlah orang sempat meragukan efektivitasnya.
“Selama ini kita diajarkan untuk memberantas nyamuk, sekarang justru mau menyebarkan nyamuk,” ucapnya.
Meski sudah berakhir, pengamatan nyamuk ber-Wolbachia hingga pemantauan kasus DBD terus dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM. Sebab menurut dr Riris Andono Ahmad, Direktur Pusat Kedokteran Tropis WMP adalah teknologi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan aman bagi kesehatan.
“Teknologi ini adalah teknologi yang berkelanjutan, karena sifatnya bisa diturunkan ke nyamuk berikutnya. Hanya perlu satu kali melepaskan, kemudian kita tinggal menikmati hasilnya. Populasi Wolbachia di Yogyakarta sampai saat ini masih sangat tinggi, sehingga memberikan proteksi yang berkelanjutan,” tutupnya. (Dari berbagai sumber/ Nia Dwi Lestari).