Berita Website – Terapi okupasi merupakan sebuah bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk membantu individu mencapai kemandirian, meningkatkan kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari, serta berpartisipasi dalam berbagai peran. Salah satunya adalah berperan dalam meningkatkan akses layanan kesehatan, mendukung kesehatan mental, dan rehabilitasi melalui promosi kesehatan pada program yang berbasis masyarakat. Contohnya adalah mendesain program yang berfokus pada kesehatan mental, seperti terapi kelompok untuk individu dengan kondisi kesehatan mental guna mempromosikan kesejahteraan.

Di sisi lain, terapi okupasi juga berkontribusi terhadap peningkatan pendidikan inklusif melalui strategi dan dukungan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. “Strategi yang dapat dibangun adalah dengan mengadvokasi untuk pendidikan inklusif. Terapi bagi anak-anak disabilitas,” ujar Shaniff Esmail, M.Sc., Ph.D., Chair and Professor Faculty of Rehabilitation Medicine, University of Alberta, pada kuliah umum program studi Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI) yang bertajuk “The Role of Occupational Therapy in Implementing The Sustainable Development Goals (SDGs)”, pada Selasa (02/04) di Auditorium Vokasi UI.

Kendati demikian, masih terdapat berbagai tantangan bagi keilmuan terapi okupasi di Indonesia. Misalnya, kesadaran yang terbatas akan manfaat terapi okupasi, akses yang terbatas untuk pengembangan terapis okupasi, dan kesulitan dalam berkolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya karena kurangnya pemahaman antardisiplin. Salah satu tantangan utama lainnya adalah jumlah SDM terapis yang belum memadai. Di Indonesia, pendidikan terapi okupasi hanya ada di dua institusi perguruan tinggi, salah satunya adalah Universitas Indonesia.

Shaniff menambahkan bahwa upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan kurikulum terapi okupasi dan menciptakan terapis yang kompeten melalui berbagai pengembangan, seperti kolaborasi antardisiplin. “Selain itu, proyek penelitian terkait dampak intervensi terapi okupasi terhadap pencapaian SDGs dapat dilakukan. Penelitian ini dapat dikolaborasikan secara global melalui program outbound, di mana mahasiswa dapat mempelajari implementasi SDGs dalam konteks yang berbeda,” kata Shaniff. Strategi lainnya adalah mengundang praktisi yang aktif terlibat dalam praktik implementasi SDGs dan memberikan proyek akhir dalam bentuk desain dan tujuan layanan terapi okupasi dengan menyelaraskan satu atau lebih SDGs.

Pada kunjungannya ke Program Pendidikan Vokasi UI, Shaniff juga menjadi dosen tamu untuk prodi Terapi Okupasi. Selain itu, penjajakan kerja sama antara University of Alberta dan Program Pendidikan Vokasi UI akan diselenggarakan dalam bentuk pengajaran dan penelitian. Direktur Program Pendidikan Vokasi UI, Padang Wicaksono, S.E., Ph.D, menjelaskan bahwa kegiatan kuliah umum yang menghadirkan dosen maupun praktisi dari luar negeri akan memberikan pengalaman menarik bagi mahasiswa dalam memperdalam ilmu mereka.

“Sebagai institusi pendidikan yang menciptakan lulusan yang siap bekerja di industri, kami terus berupaya memberikan pembelajaran berkualitas. Di samping itu, kami juga mengajarkan mahasiswa agar semakin melek dengan tantangan dunia, salah satunya adalah implementasi dan peran mereka guna mewujudkan SDGs 2030,” ujar Padang. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Shaniff bahwa dalam rumusan SDGs 2030, Terapi Okupasi turut berkontribusi pada tiga tujuan pembangunan kesejahteraan masyarakat, yaitu SDGs nomor 3, Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan (Good Health and Well-being); nomor 4, Pendidikan Berkualitas (Quality Education); dan nomor 10 Pengurangan Ketimpangan (Reduced Inequalities).

Bagikan:

Berita Website

Aktual dan Faktual

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *