Berita Website – Sejumlah negara mulai meninggalkan mata uang dolar AS dalam transaksi perdagangannya, seperti China, Thailand, Arab Saudi, hingga Indonesia.
Dedolarisasi adalah gerakan untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar AS.
Terbaru dalam aksi dedolarisasi yaitu China dan Arab Saudi telah menyepakati perjanjian pertukaran mata uang senilai sekitar 7 miliar dolar AS.
Business Insider, kesepakatan kedua negara menandai langkah lain dalam tren dedolarisasi ketika negara-negara di seluruh dunia beralih dari greenback.
Kesepakatan tiga tahun itu memungkinkan jumlah maksimum transaksi sebesar 50 miliar yuan atau 26 miliar riyal.
Meskipun relatif kecil, kesepakatan ini secara simbolis bisa menjadi lebih besar karena Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar dunia, dan sebagian besar perdagangan minyak global dilakukan dalam dolar.
Sebelumnya, China juga gencar melakukan dedolarisasi dengan cara memborong emas secara besar-besaran. Pembelian emas batangan ini terjadi sebagai bagian dari upaya besar negara-negara pada tahun ini untuk mencoba mendiversifikasi cadangan devisa mereka dari dolar.
Hal ini juga terkait dengan upaya beberapa negara untuk melakukan dedolarisasi dalam hubungan perdagangan dengan melakukan transaksi dalam mata uang lokal.
Melansir Financial Times, pembelian emas oleh bank sentral global yang terus meningkat telah mengejutkan para analis pasar, yang memperkirakan penurunan pembelian dari level tertinggi sepanjang masa tahun lalu.
Kekhawatiran tersebut semakin dipicu oleh konflik yang meletus di Timur Tengah antara Hamas dan Israel, yang telah meningkatkan aset safe haven hampir 10 persen dalam 16 hari.
Langkah Indonesia Lakukan Dedolarisasi
Bank Indonesia dan bank sentral sejumlah anggota Asean lainnya telah menjalin kerja sama untuk membuang dolar AS dan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara dalam bertransaksi.
Kerja sama tersebut dikenal dengan istilah local currency transaction (LCT).
Untuk mendukung akselerasi penggunaan mata uang lokal, pemerintah Indonesia dan sejumlah lembaga pun telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Nasional LCT, beberapa waktu lalu.
“Bank Indonesia meyakini Satgas Nasional LCT akan menjadi wadah koordinasi yang semakin memperkuat sinergi kebijakan antar kementerian/lembaga [K/L] dalam upaya meningkatkan penggunaan mata uang lokal pada transaksi bilateral Indonesia dengan negara mitra utama,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo.
Pada tingkat Asean, kerja sama LCT antara Indonesia sudah terimplementasi dengan Malaysia dan Thailand.
Selain kedua negara tersebut, Indonesia dan Singapura juga telah sepakat untuk membangun kerangka implementasi kerja sama LCT.
Pemerintah mencatat, nilai transaksi dan jumlah pelaku LCT terus tumbuh positif.
Pada Januari hingga April 2023, transaksi LCT Indonesia dengan negara mitra, yaitu Malaysia, Thailand, China, dan Jepang, tercatat mencapai US$2,1 miliar.
Pada 2022, transaksi LCT tercatat mencapai US$4,1 miliar atau 5 kali lebih besar dibandingkan dengan total transaksi pada 2020 sebesar US$797 juta.
Jumlah pelaku LCT juga tercatat meningkat signifikan dari 101 nasabah pada 2018 menjadi sebanyak 2.064 nasabah per April 2023.
Perry mengatakan, penggunaan mata uang lokal yang akan terus didorong ke depan diharapkan akan mengurangi kerentanan terhadap volatilitas eksternal dan memperdalam pasar keuangan.
Selain itu, BI mengungkapkan bahwa Vietnam dan Brunei akan mulai mengurangi ketergantuang dolar AS dengan menggunakan local currency transaction (LCT) bersama Indonesia.
Di sisi lain, negara lain juga telah menjalankan gerakan dedolarisasi seperti India sejak April 2023 mengeluarkan kebijakan baru untuk mendorong perluasan rupee sebagai pengganti dolar dalam perdagangan internasional.
Kemudian, Rusia yang menyatakan bahwa pihaknya akan memakai rubel sebagai alternatif transaksi dengan mitra internasional.
Selanjutnya, Brasil yang turut bergabung dengan aliansi negara BRICS mencakup Rusia, India, China dan Afrika Selatan untuk bersiap meninggalkan dolar AS lewat perilisan mata uang baru.
Alasan Tinggalkan Dolar AS
Dolar telah menjadi mata uang cadangan dunia sejak Perang Dunia II. Akan tetapi, kombinasi alasan politik dan ekonomi perlahan-lahan mengikis supremasinya.
Sekarang, sanksi yang dipimpin Barat terhadap Rusia terkait dengan invasinya ke Ukraina membuat negara lain waspada terhadap potensi konsekuensi jika berselisih dengan Washington.
Beberapa, seperti Brasil, Argentina, Bangladesh, dan India, menyiapkan mata uang dan aset cadangan — seperti yuan dan bitcoin China — untuk perdagangan dan pembayaran.
Sementara lingkungan makro-geopolitik memacu negara-negara lain untuk mencari mata uang alternatif, sudah lama ada kegelisahan atas dominasi dolar yang sangat besar dalam perdagangan dan keuangan global.
Pembicaraan mengenai de-dolarisasi ini telah dibahas kembali secara bergelombang setiap beberapa tahun sejak setidaknya tahun 1970-an.
Mengutip Business Insider yang dilansir dari Kontan, berikut sejumlah alasan lain negara di dunia mempertimbangkan untuk memutus hubungan dengan dolar:
Kebijakan Moneter AS Terlalu Berpengaruh
AS adalah penerbit mata uang cadangan dunia, yang juga merupakan mata uang dominan dalam sistem perdagangan dan pembayaran internasional.
Akibatnya, AS memiliki pengaruh yang sangat besar pada ekonomi dunia dan sering dinilai terlalu tinggi, lapor lembaga think tank Wilson Center pada bulan Mei.
Posisi ini telah memberi AS apa yang disebut Valéry Giscard d’Estaing, presiden Prancis dari tahun 1974 hingga 1981, sebagai “hak istimewa yang terlalu tinggi”.
Ini juga berarti bahwa negara-negara di seluruh dunia harus mengikuti kebijakan ekonomi dan moneter AS secara ketat untuk menghindari dampak limpahan pada ekonomi mereka.
Dolar AS Makin Menguat
Penguatan greenback terhadap sebagian besar mata uang di seluruh dunia membuat impor jauh lebih mahal bagi negara-negara berkembang.
Perdagangan Minyak Semakin Beragam
Alasan utama dolar AS menjadi mata uang cadangan dunia adalah bahwa negara-negara Teluk di Timur Tengah menggunakan greenback untuk memperdagangkan minyak — karena itu sudah menjadi mata uang perdagangan yang digunakan secara luas pada saat mereka memperdagangkan minyak.
Pengaturan tersebut diresmikan pada tahun 1945 ketika negara raksasa minyak Arab Saudi dan AS mencapai kesepakatan bersejarah di mana Arab Saudi akan menjual minyaknya ke Amerika hanya dengan menggunakan greenback.
Sebagai imbalannya, Arab Saudi akan menginvestasikan kembali kelebihan cadangan dolar ke perbendaharaan dan perusahaan AS. Pengaturan tersebut menjamin keamanan AS untuk Arab Saudi.
Tapi kemudian AS menjadi energi mandiri dan pengekspor minyak bersih dengan munculnya industri minyak serpih.
“Perubahan struktural di pasar minyak yang disebabkan oleh revolusi shale-oil secara paradoks dapat melukai peran USD sebagai mata uang cadangan global karena eksportir minyak, yang memainkan peran penting dalam status USD, perlu mengubah orientasi diri mereka sendiri ke negara lain dan mata uang mereka,” lapor ekonom Allianz. (Dari berbagai sumber/ Nia Dwi Lestari).